Remaja 14 Tahun Didakwa Membunuh Ayah dan Neneknya di Jakarta Selatan, Divonis Dua Tahun Pembinaan
Seorang remaja berusia 14 tahun, berinisial MAS, telah dijatuhi hukuman dua tahun pembinaan di Sentra Handayani, Jakarta Timur. MAS terbukti bersalah atas pembunuhan terhadap ayahnya, APW (40), dan neneknya, RM (69), serta melukai ibunya, AP (40), di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Putusan ini dibacakan pada Senin lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang yang digelar secara tertutup ini menyatakan dakwaan jaksa terbukti.
Vonis Dua Tahun Pembinaan di Sentra Handayani
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis pembinaan selama dua tahun di Sentra Handayani bagi MAS. Masa hukuman ini akan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalaninya.
Selama masa pembinaan, MAS diwajibkan menjalani terapi kejiwaan secara berkala. Hasil terapi ini akan dilaporkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) setiap enam bulan sekali.
Beberapa barang bukti dalam kasus ini akan dirampas dan dimusnahkan.
Bantahan Kuasa Hukum dan Pertimbangan Hakim
Kuasa hukum MAS, Maruf Bajammal, menyatakan menghormati putusan pengadilan. Namun, ia mengungkapkan pandangan berbeda atas putusan tersebut.
Pihaknya berpendapat bahwa MAS seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Maruf menilai hakim tidak mempertimbangkan dengan baik keterangan ahli dan bukti terkait kondisi disabilitas mental yang dialami MAS.
Pertimbangan dan putusan hakim, menurut Maruf, tidak sejalan dengan bukti yang ada.
Kronologi Kejadian dan Kondisi Psikologis MAS
Peristiwa pembunuhan terjadi pada Sabtu, 30 November 2024, pukul 01.00 WIB di Perumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. MAS diduga mengalami gangguan mental dan mengaku mendapat bisikan-bisikan yang meresahkan sebelum kejadian.
Sebelumnya, MAS telah menjalani pemeriksaan kejiwaan di RS Polri. Ia juga pernah berkonsultasi dengan psikiater karena gangguan tidur.
Kasus ini terdaftar dengan nomor perkara 8/Pid.Sus-Anak/2025/PN JKT.SEL. Hakim yang memimpin sidang adalah Lusiana Amping, dengan JPU Indah Puspitarani, Mochammad Zulfi Yasin Ramadhan, Pompy Polansky Alanda, dan Alisa Nur Aisyah.
Pertimbangan Hakim yang Mempertimbangkan Aspek Pembinaan
Meskipun kuasa hukum MAS menyatakan ketidaksetujuan, putusan hakim tampaknya mempertimbangkan aspek pembinaan bagi anak yang diduga mengalami disabilitas mental.
Hukuman berupa pembinaan di lembaga sosial seperti Sentra Handayani dinilai lebih tepat daripada hukuman penjara, mengingat usia dan kondisi MAS. Terapi kejiwaan yang diwajibkan juga menunjukkan upaya rehabilitasi dan pemulihan.
Tantangan dalam Menangani Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum yang Mengalami Gangguan Mental
Kasus ini menyoroti tantangan dalam menangani kasus anak berhadapan dengan hukum yang memiliki gangguan mental.
Perlu adanya kolaborasi yang lebih baik antara penegak hukum, tenaga kesehatan mental, dan lembaga sosial untuk memastikan penanganan yang holistik dan adil bagi anak-anak dalam situasi serupa. Sistem hukum perlu lebih sensitif terhadap kondisi psikologis anak.
Kesimpulannya, putusan pengadilan atas kasus pembunuhan yang dilakukan MAS, menunjukkan kompleksitas dalam menangani kasus anak berhadapan dengan hukum, terutama yang melibatkan aspek kesehatan mental. Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara kuasa hukum dan hakim, putusan ini menekankan pentingnya pembinaan dan rehabilitasi bagi anak yang berkonflik dengan hukum, terutama yang mengalami gangguan mental. Kasus ini juga menjadi sorotan penting bagi sistem peradilan anak di Indonesia untuk terus meningkatkan penanganan yang lebih holistik dan berfokus pada pemulihan, bukan hanya hukuman. Harapannya, kasus ini dapat menjadi pembelajaran untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman terkait penanganan anak yang mengalami masalah kesehatan mental dan berkonflik dengan hukum.

 
									



