Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah telah memicu perdebatan hangat. Jeda waktu minimal dua tahun antara kedua pemilu ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Bursah Zarnubi, mengajukan usulan perpanjangan masa jabatan kepala daerah sebagai konsekuensi logis putusan MK tersebut. Ia berpendapat hal ini dimungkinkan secara hukum.
Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah
Bursah Zarnubi, yang juga menjabat sebagai Bupati Lahat, menyatakan dukungannya terhadap perpanjangan masa jabatan. Ia beralasan bahwa landasan hukum masa jabatan kepala daerah berasal dari undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah.
Dengan demikian, perpanjangan masa jabatan dapat dilakukan jika ada kesepakatan antara kedua lembaga tersebut. Keputusan ini sepenuhnya bergantung pada hasil pembahasan dan kesepakatan yang tercapai.
Beliau menekankan bahwa perpanjangan ini merupakan peluang yang terdapat dalam kerangka hukum yang berlaku. Usulan ini muncul sebagai respon atas implikasi putusan MK terkait pemisahan pemilu.
Implikasi Putusan MK dan Nasib DPRD
Meskipun mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah, Bursah mengatakan hal yang sama tidak berlaku untuk anggota DPRD. Masa jabatan anggota legislatif selama lima tahun telah diatur secara tegas dalam UUD 1945.
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 secara jelas mengatur pemilu DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tidak dimungkinkan.
Terkait hal tersebut, muncul kekhawatiran mengenai kekosongan pemerintahan daerah. Namun, Bursah menilai hal ini dapat diatasi.
Ia berpendapat pemerintah daerah tetap dapat berjalan meskipun tanpa DPRD, dengan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri, menurutnya, memiliki kapasitas untuk melakukan pengawasan yang lebih intensif.
Putusan MK yang Memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Keputusan ini diambil setelah mengabulkan sebagian permohonan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, sementara pemilu daerah meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta kepala daerah.
MK menetapkan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan ini bertujuan untuk perbaikan sistem pemilu ke depannya.
Putusan MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal tersebut dimaknai ulang agar pemungutan suara untuk pemilu daerah dilaksanakan setelah pemilu nasional dengan jeda waktu yang telah ditentukan.
Putusan MK ini menimbulkan berbagai respon dan interpretasi dari berbagai pihak. Diskusi dan perdebatan mengenai implikasi dari putusan ini masih berlanjut, termasuk wacana perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan kekosongan pemerintahan daerah. Pemerintah dan DPR perlu segera merumuskan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak putusan MK ini secara komprehensif dan terukur, memastikan kelancaran pemerintahan daerah dan stabilitas politik nasional.