Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menuai kontroversi. Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menilai putusan tersebut berpotensi mengubah peran MK secara fundamental, bahkan menjadikannya sebagai lembaga ketiga perumus undang-undang setelah Pemerintah dan DPR.
Kekhawatiran ini muncul karena putusan MK tersebut dinilai inkonsisten dengan putusan sebelumnya terkait desain pemilu serentak. Khozin menekankan perlunya kejelasan peran dan fungsi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
MK: Lembaga Ketiga Perumus Undang-Undang?
Khozin menyoroti potensi transformasi MK dari sekedar penguji dan penafsir konstitusi menjadi lembaga perumus undang-undang. Ia mempertanyakan apakah MK telah melampaui batas wewenangnya.
Menurutnya, MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) seharusnya berperan sebagai *negative legislator*, bukan *positive legislator* seperti DPR dan Pemerintah. Putusan yang memisahkan pemilu ini dianggapnya sebagai bentuk *positive legislator* yang tidak semestinya.
Inkonsistensi Putusan MK dan Dampaknya
Khozin mencatat adanya inkonsistensi antara Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 (pemisahan pemilu) dan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 (desain pemilu serentak). Putusan yang lebih baru seolah menghilangkan enam opsi desain pemilu yang ditawarkan sebelumnya.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan ketidakpastian hukum. Pemerintah pun dihadapkan pada dilema, karena melaksanakan putusan MK berpotensi menimbulkan inkonstitusionalitas. UUD 1945 sendiri telah mengamanatkan pemilu lima tahun sekali.
Perlunya Penegasan Peran dan Fungsi MK
Khozin khawatir putusan MK ini akan dijadikan jalan pintas untuk menolak produk perundangan. Proses penyusunan undang-undang membutuhkan waktu, energi, dan biaya yang signifikan.
Ia membayangkan skenario terburuk: DPR dan Pemerintah telah merombak sejumlah undang-undang sesuai putusan MK, namun kemudian undang-undang tersebut kembali digugat ke MK. Siklus ini akan menghabiskan energi dan menghambat perbaikan nyata di lapangan.
Oleh karena itu, Khozin menekankan pentingnya penegasan bersama terkait peran dan fungsi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan menjaga stabilitas hukum serta kepastian hukum di Indonesia.
Kejelasan peran MK sangat penting untuk mencegah terulangnya situasi serupa di masa mendatang. Proses legislasi yang panjang dan rumit seharusnya tidak mudah diganggu gugat hanya karena putusan pengadilan, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
Ke depan, diperlukan dialog dan kesepahaman yang lebih luas antara MK, DPR, dan Pemerintah untuk menghindari konflik dan memastikan implementasi hukum yang efektif dan efisien.