Sebuah kasus penganiayaan terhadap anak berusia 11 tahun, AZA, mengguncang Cipadu, Larangan, Kota Tangerang, Banten. Kejadian yang terjadi Jumat malam, 27 Juni 2024 sekitar pukul 22.30 WIB ini bermula dari hal sepele: permintaan meminjam tali karet.
Pelaku, FER, menganiaya AZA karena anaknya, F, ditolak meminjam tali karet yang sedang digunakan korban. Akibat penganiayaan tersebut, AZA mengalami luka di alis, kepala belakang, dan bahu. Kasus ini kini tengah berproses hukum di Polres Metro Tangerang Kota.
Kronologi Penganiayaan Anak di Cipadu
AZA, bocah 11 tahun, tengah asyik bermain tali karet bersama teman-temannya di Cipadu. Anak pelaku, F, ingin ikut bermain dan meminjam tali karet milik AZA.
Namun, AZA menolak karena F tidak ikut patungan. Penolakan ini kemudian dilaporkan F kepada ayahnya, FER.
Mendengar laporan anaknya, FER langsung mendatangi lokasi dan tanpa basa-basi menendang AZA hingga terjatuh. Ia kemudian memukul dan menginjak tubuh AZA hingga mengalami luka-luka.
Proses Hukum dan Tindakan Kepolisian
Orang tua AZA melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Polisi dengan sigap merespon laporan tersebut dan langsung melakukan penyelidikan.
FER, pelaku penganiayaan, telah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini ditahan di Mapolres Metro Tangerang Kota. Kasus ini telah memasuki tahap penyidikan.
Proses hukum terus berlanjut. Berkas perkara kini sedang dipersiapkan untuk dikirim ke kejaksaan. Pihak kepolisian berharap berkas perkara dapat dinyatakan lengkap (P21) agar kasus ini segera dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal yang Dikenakan dan Hukuman yang Dihadapi
FER dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan Biasa dan atau Pasal 80 UU No 35 tahun 2014 Jo pasal 76c UU No 35 tahun 2014. Kedua pasal tersebut berkaitan dengan perlindungan anak.
Ancaman hukuman untuk tersangka cukup berat. FER terancam hukuman penjara maksimal tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengendalian emosi dan perilaku orangtua dalam menyelesaikan masalah anak. Solusi dialogis dan penyelesaian yang tidak melibatkan kekerasan fisik seharusnya selalu diprioritaskan.
Kejadian ini juga menyoroti pentingnya pengawasan orangtua terhadap anak-anak mereka, serta pentingnya pendidikan karakter yang mengajarkan penyelesaian konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, dan penegakan hukum dapat berjalan dengan adil dan transparan.