Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah dengan jeda waktu minimal dua tahun telah menimbulkan polemik. Banyak pihak berupaya mencari solusi terbaik atas implikasi putusan ini, terutama bagi para kepala daerah yang masa jabatannya terdampak. Salah satu usulan yang mengemuka adalah perpanjangan masa jabatan kepala daerah.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) secara tegas mendukung perpanjangan masa jabatan kepala daerah selama dua tahun. Mereka berpendapat hal ini merupakan solusi terbaik untuk mencegah diskontinuitas kebijakan pemerintahan.
Perpanjangan Masa Jabatan: Solusi APKASI atas Putusan MK
Ketua Umum APKASI, Bursah Zarnubi, menyatakan bahwa perpanjangan masa jabatan merupakan satu-satunya opsi yang tepat. Ia khawatir jika tidak ada perpanjangan, akan terjadi perbedaan kebijakan yang signifikan antara kepala daerah lama dan baru.
Perbedaan kebijakan ini, menurut Bursah, berpotensi menimbulkan hambatan administrasi dan menghambat program pembangunan daerah yang sudah berjalan. APKASI melihat perpanjangan ini sebagai solusi yang paling logis dan memberikan legitimasi kuat karena kepala daerah terpilih melalui proses Pilkada.
Legitimasi ini sangat penting, menurut Bursah, untuk memastikan kelancaran program pembangunan daerah yang telah direncanakan. Perpanjangan masa jabatan diyakini akan meminimalisir potensi terganggunya program-program strategis daerah.
Putusan MK: Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, mengabulkan sebagian permohonan Perludem. Putusan ini memutuskan pemungutan suara untuk Pemilu Nasional dan Daerah dipisahkan dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Pemilu Nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden. Sementara Pemilu Daerah mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta kepala daerah. Putusan ini bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan dan memastikan proses demokrasi berjalan lebih efektif.
MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut dimaknai ulang agar pemungutan suara Pemilu Nasional dan Daerah dilaksanakan terpisah dengan jeda waktu yang telah ditentukan.
Dampak Putusan MK dan Tantangan ke Depan
Putusan MK ini membawa sejumlah tantangan bagi pemerintah dan DPR. Salah satu tantangan utama adalah penyesuaian jadwal pelaksanaan Pemilu dan revisi regulasi terkait. DPR masih mengkaji putusan ini, khususnya terkait implikasi bagi masa jabatan DPRD.
Pemerintah juga perlu segera merumuskan langkah-langkah konkret untuk melaksanakan putusan MK. Komisi II DPR mendorong penyusunan RUU Pemilu yang sesuai dengan RPJPN 2025-2045. Proses ini membutuhkan koordinasi yang baik antar lembaga negara untuk memastikan transisi pemerintahan berjalan lancar.
Putusan MK ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem kepemiluan di Indonesia. Pemerintah dan DPR perlu bekerja sama untuk memastikan pelaksanaan putusan MK sesuai dengan prinsip keadilan dan demokrasi. Perlu dipertimbangkan solusi yang terbaik untuk meminimalisir dampak negatif dari putusan ini, termasuk opsi perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang diusulkan APKASI. Diskusi dan dialog yang konstruktif antar pemangku kepentingan sangat krusial dalam menentukan langkah selanjutnya. Dengan demikian, stabilitas pemerintahan dan kelanjutan program pembangunan daerah dapat terjaga.