Pemerintah Presiden Joko Widodo, melalui Kementerian Pertahanan, tengah menjalankan rencana pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan (Yonterbang). Rencana ini bertujuan untuk mendukung program strategis nasional, khususnya dalam mewujudkan kemandirian ekonomi. Namun, rencana tersebut telah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Inisiatif ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak, seperti pengamat politik RAj Mayyasari Timoer Gondokusumo, yang menilai Yonterbang sebagai strategi pertahanan non-tempur yang efektif. Sementara itu, koalisi masyarakat sipil justru mengkritik rencana tersebut, menganggapnya sebagai langkah yang keluar dari mandat utama TNI.
Yonterbang: Strategi Pertahanan Non-Tempur untuk Kemandirian Ekonomi
Menurut Mayyasari, dosen Hubungan Sipil-Militer Universitas Pertahanan, Yonterbang akan berperan penting dalam percepatan pembangunan nasional, terutama dalam hal ketahanan pangan. Batalyon ini akan terdiri dari kompi yang fokus pada produksi pertanian, perikanan, peternakan, dan kesehatan.
Ia menekankan pentingnya sinergitas antara TNI, Kementerian Pertahanan, dan kementerian/lembaga lainnya untuk keberhasilan program ini. Kolaborasi tersebut, menurutnya, bukanlah distorsi fungsi pertahanan TNI, melainkan bentuk implementasi strategi pertahanan yang komprehensif.
Mayyasari menambahkan bahwa pemerintah saat ini tengah merancang transformasi pertahanan dengan pendekatan *soft power*, menguatkan potensi masyarakat di berbagai bidang. Hal ini sebagai antisipasi ancaman non-konvensional, seperti kemiskinan dan krisis pangan.
Kritik Koalisi Masyarakat Sipil: TNI Perlu Fokus pada Fungsi Utamanya
Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari berbagai organisasi seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, dan lainnya, mengeluarkan pernyataan kritis terhadap rencana pembentukan Yonterbang.
Koalisi tersebut menilai keterlibatan TNI dalam kegiatan non-militer seperti pertanian dan kesehatan, akan mengurangi fokus dan efektivitas TNI dalam menjalankan fungsi pertahanan utamanya. Mereka menekankan pentingnya menjaga batas yang jelas antara ranah sipil dan militer.
UU TNI dan UUD 1945, menurut koalisi, tidak memberikan kewenangan kepada militer untuk terlibat langsung dalam sektor pertanian, peternakan, atau layanan kesehatan. Mereka menyarankan agar TNI fokus memperkuat kemampuan tempurnya di tengah kompleksitas ancaman modern.
Implementasi Yonterbang dan Peran TNI dalam Pembangunan Nasional
Mayyasari menjelaskan bahwa Yonterbang akan beroperasi sesuai regulasi Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diatur dalam Undang-Undang TNI. Peran dan fungsi militer akan tetap berada dalam kerangka negara demokrasi, menjunjung tinggi supremasi sipil, dan bersinergi dengan sipil di bawah pemerintah sipil.
Ia menekankan bahwa peran aktif TNI dalam pembangunan nasional, seperti yang terlihat dalam dukungan logistik dan kesehatan di Papua, tidak mengurangi fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Pembentukan Yonterbang, menurutnya, adalah solusi nyata atas tantangan sosial dan krisis pangan, bukan bentuk militerisme.
Lebih lanjut, Mayyasari menyebut bahwa pembentukan Yonterbang tidak didominasi oleh TNI AD, melainkan bersifat sinergis dengan melibatkan seluruh matra. Pemerintah, kata dia, juga melakukan penguatan seluruh matra TNI untuk menghadapi dinamika geopolitik, termasuk menjaga kepentingan nasional di Laut China Selatan.
Meskipun rencana pembentukan Yonterbang mendapat dukungan dan kritik, perdebatan ini menggarisbawahi kompleksitas peran TNI dalam konteks pembangunan nasional dan pertahanan negara di era modern. Diskusi yang lebih luas dan transparan diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang menjaga keseimbangan antara tugas pokok TNI dan kontribusinya terhadap pembangunan.
Ke depan, perlu adanya mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan agar keterlibatan TNI dalam pembangunan tetap sesuai koridor hukum dan tidak mengganggu tugas pokoknya sebagai alat pertahanan negara. Hal ini penting untuk menjaga profesionalisme TNI dan menghindari potensi konflik kepentingan.